Menepis Kompetisi Merajut Kolaborasi
Paradigma lama yang mempososikan kompetisi sebagai
media untuk meraih keberhasilan tampaknya sudah tidak kompatibel dan
kontekstual dewasa ini. Seringkali kompetisi disatu titik memberikan ruang
untuk berlomba-lomba untuk meningkatkan kapasitas diri dan motivasi agar bisa
bersaing dengan yang lain. Sementara di sisi lain, kompetisi tak seindah seperti
yang dibayangkan, saling sikut dan menggunakan segala cara menjadi fakta yang
tak bisa dihindari.
Tentu gagasan David McClelland sebagaimana
tertuang dalam bukunya Mansour Fakih Runtuhnya Teori Pembangunan (2002) bahwa
yang menentukan nasib manusia itu tak lebih dari kemampuan dirinya untuk
berprestasi atau dalam bahasa yang lain David McClelland melakukan kategorisasi
mengenai kebutuhan manusia. Pertama bahwa
manusia itu membutuhkan prestasi (need
for achievement) Kedua kebutuhan
untuk berafilisiasi atau bersosialisasi (need
for affiliation) dan Ketiga kebutuhan untuk berkuasa (need for Power).
Implikasi dari gagasan McClelland ini bahwa
ketertindasan, kemiskinan, kebodohan seolah menegasikan peran Negara sebagai
sumber utama yang membuat masyarakat menjadi miskin atau meminjam bahasa program KOTAKU
adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Akan tetapi kemiskinan itu akibat dari manusia itu sendiri
yang tidak mau berkompetisi, bekerja keras untuk berpretasi. Tetapi bagi mazhab
yang menentang konsep developmentalism bahwa kemiskinan atau MBR itu hanya puncak
gunung es dari regulasi Negara yang tidak pernah hadir dan memihak kepada warga
miskin. Dan pada gilirannya kemiskinan menjadi fakta sosial yang sulit dibantah
Sebagai jalan tengah dari pergulatan dua
kutub mazhab developmentalism yang
dipelopori oleh Adam Smith, Herbert Spencer David Ricardo di mana pasar menjadi
ruang terbuka untuk berkompetisi meraih kesejahteraan masyarakat, dan meminimalisir peran Negara, maka sebagai gantinya kapitalisme menjadi media paling efektif untuk
mempercepat kesejahtearaan masyarakat. Sementara di sisi lain mazhab sosiologi
kritis atau yang lebih populer dengan sebutan Frankfurt School yang dipelopori oleh Antonio
Gramsci, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dkk, menilai bahwa pasar atau
kapitalisme menjadi ruang eksploitatif
kepada warga Negara yang tak berdaya, yang kaya semakin kaya, yang kaya
menghisab yang lemah dan yang lemah semakin lemah
Untuk keluar dari ketegangan dua mazhab itu
maka kolaborasi menjadi niscaya dan menjadi solusi yang harus dilakukan. Meskipun
kolaborasi dalam program KOTAKU belum mencerminkan kolaborasi yang
sesungguhnya. Sebagaimana yang disampaikan Jonathan (2004) bahwa kolaborasi
sebagai proses interaksi di antara beberapa orang yang berkesinambungan. Bagaimana
mau berinteraksi, duduk bersama mengagas perencanaan pembangunan saja tidak
pernah terjadi. Dan gilirannya kita melakukan pengumpulan data kegiatan yang
beririsan dengan program KOTAKU. Itupun tidak semudah membalikkan telapak
tangan.
Di lapangan, seringkali lurah dan kades
merasa diinvestigasi, diintrogasi kegiatan yang sudah dilakukan. Bahkan sebagian
kepala desa dan Lurah merasa tidak nyaman manakala ditanyakan kegiatan atau
pembangunan apa saja yang sudah dilakukan. Mungkin itulah kolaborasi minimalis
dalam program KOTAKU. Minimalis saja sulit, apalagi kolaborasi yang maksimal,
yang sejak awal perencanaan program dilibatkan. Tapi itulah tantangan yang
harus kita lakukan.
Mengedepankan sinergi dan kolaborasi sebagai
mazdhab baru dalam pembangunan tampaknya tidak bisa ditwar lagi. Hal ini penting
dilakukan karena selama ini pembangunan dilakukan secara sektoral dan parsial. Implikasinya
adalah pembangunan tak berjalan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu,
mendahulukan kolaborasi ketimbang kompetisi dari ragam program yang ada harus dioptimalkan dan dimaksimalkan. Jika tidak, pembangunan untuk mengurangi luasan kumuh
menjadi 0% atau penurunan MBR di tahun 2019 hanya menjadi halusinasi dan mimpi
buruk[]
Post a Comment